Pendahuluan
Autisme merupakan suatu kata atau istilah yang mungkin untuk sebagian orang masih merupakan suatu tanda. Namun, bagi sebagian orang lagi, terutama para orangtua yang mempunyai anak penyandang autisme, kata itu sudah tidak asing lagi. Para profesional yang menggeluti bidang perkembangan anak telah lama mengadakan penelitian tentang autisme, psikopatologi, cara pencegahan, dan penanggulangannya, serta kelanjutan perkembangan anak dengan autisme di kemudian hari.
Autisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan jenis gangguan perkembangan pervasif pada anak yang mangakibatkan gangguan/keterlambatan pada bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial. Kondisi seperti itu tentu akan sangat mempengaruhi perkembangan anak, baik fisik maupun mental. Apabila tidak dilakukan intervensi secara dini dengan tatalaksana yang tepat, perkembangan yang optimal pada anak tersebut sulit diharapkan. Mereka akan semakin terisolir dari dunia luar dan hidup dalam dunianya sendiri dengan berbagai gangguan mental serta perilaku yang semakin mengganggu. Tentu semakin banyak pula dampak negatif yang akan terjadi.
|
|
Penderita Autis
|
Jogi Sinaga, siswa penderita autis bermain bersama pembimbing terapi autis di Check My Child Jakarta, Rabu, 19 November 2003. Metode Terapi yang digunakan adalah Sensority Integration. [TEMPO/ Rully Kesuma; 34D/007/2003; 20031120].
Apa yang disebut dengan autisme?
Saat ini, masalah autisme menimbulkan keprihatinan yang mendalam, terutama dari orangtuanya. Selain itu, rasa khawatir timbul pada ibu-ibu muda yang akan melahirkan. Autisme dapat terjadi pada siapa saja. Tidak ada perbedaan status sosial-ekonomi, pendidikan, golongan etnik, atau bangsa. Jumlah kasus yang dilaporkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Menurut Ginanjar (2001), autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan sosialisasi, sensoris, dan belajar. Biasanya, gejala sudah mulai tampak pada anak berusia di bawah 3 tahun.
Sedangkan menurut Widyawati (1997), gangguan autistik atau autisme juga sering disebut autisme infantil. Gangguan ini merupakan salah satu dari kelompok gangguan perkembangan pervasif yang paling dikenal dan mempunyai ciri khas:
- Adanya gangguan yang menetap pada interaksi sosial, komunikasi yang menyimpang,dan pola tingkah laku yang terbatas serta stereotip.
- Fungsi yang abnormal ini biasanya telah muncul sebelum usia 3 tahun.
- Lebih dari dua per tiga mempunyai fungsi di bawah rata-rata.
Siapa saja yang bisa menjadi penyandang autisme?
Menurut Rapin (1991), kejadian autisme di seluruh dunia diperkirakan sebesar 5--15 anak per 10.000 kelahiran (Catherine Maurice, 1996). Sedangkan menurut CDC (April 2000), kejadian autisme terdapat pada 1 di antara 250 anak usia 3--10 tahun di Brick Township, AS. Antara 1987--1998, jumlah anak autisme yang terdaftar di Regional Centre in California meningkat 273%. Saat ini diperkirakan terdapat 400.000 penderita autisme di AS. (http:www.svmagazine.com/2000/week26/features/story01.Html). Sedangkan di Indonesia sampai saat ini belum ada data resmi tentang jumlah kasus autisme.
Biasanya, autisme lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan, yaitu 4 : 1. Dikatakan bahwa anak laki-laki lebih mudah mendapat gangguan fungsi otak, namun anak perempuan penyandang autisme biasanya mempunyai gejala yang lebih berat. Selain itu, pada tes inteligensi hasilnya lebih rendah dibanding anak laki-laki.
Semula diduga penyandang autisme berasal dari keluarga dengan tingkat inteligensi dan sosio-ekonomi yang tinggi. Namun, dari penelitian terakhir, autisme ditemukan pada keluarga dengan berbagai tingkat sosio-ekonomi dan inteligensi. Hal itu mencerminkan telah semakin meluasnya pengetahuan tentang autisme di kalaangan profesional, terutama tenaga medis maupun masyarakat, dan semakin meningkatnya kemudahan untuk mencari pertolongan. Dengan demikian, gangguan ini menjadi lebih mudah dan lebih sering terdeteksi dibanding masa sebelumnya.
Faktor apa saja yang dapat menyebabkan autisme?
Menurut Budiman(Kompas, 26-9-2000), peningkatan kasus autisme belakangan ini, selain karena faktor kondisi dalam rahim seperti terkena virus toksoplamosis, sitomegalovirus, rubella atau herpes, dan faktor herediter, juga diduga karena pengaruh zat-zat beracun. Misalnya timah hitam (Pb) dari knalpot kendaraan, cerobong pabrik, cat tembok; kadmium (Cd) dari batu batere; serta air raksa (Hg) yang juga digunakan untuk menjinakkan kuman untuk imunisasi. Demikian pula pula antibiotik yang memusnahkan hampir semua kuman baik dan buruk di saluran pencernaan, sehingga jamur merajalela di usus. Logam-logam berat yang menumpuk di tubuh wanita dewasa masuk ke janin lewat demineralisasi tulang, dan tersalur ke bayi melalui ASI.
Stephen Edelson, MD (Majalah Nirmala, Juni 2001) yang melakukan penelitian pada 1998 terhadap 56 anak autisme, menemukan bahwa 95% dari mereka dalam darahnya ditemukan satu atau lebih racun bahan kimia pada tingkat yang cukup tinggi, melampaui batas maksimum rata-rata orang dewasa dalam keadaan sehat. Selain itu, 100% dari mereka mengandung satu atau lebih metal seperti air raksa (merkuri) dan timah dalam tingkat yang tinggi, yang merupakan racun yang dapat menyerang sistem otak.
Kecurigaan peran Hg pada kejadian autisme dikemukakan pula oleh Dr. Bernard Rimland dari Autism Research Institution San Diego, yang berbicara ke Senat AS tentang hal ini. Hasil analisis mineral rambut anak penderita autisme menunjukkan kadar Pb dan Hg yang tinggi. Sedang pendapat lain dikemukakan oleh Widyawati, yakni beberapa teori tentang penyebab autisme, antara lain:
Teori Psikososial
Kanner mempertimbangkan adanya pengaruh psikogenik sebagai penyebab autisme: orangtua yang emosional, kaku, dan obsessif, yang mengasuh anak mereka dalam suatu atmosfir yang secara emosional kurang hangat, bahkan dingin. Pendapat lain mengatakan adanya trauma pada anak yang disebabkan hostilitas yang tidak disadari dari ibu, yang sebenarnya tidak menghendaki anak ini. Ini mengakibatkan gejala penarikan diri pada anak dengan autisme. Menurut Bruno Bettelheim, perilaku orangtua dapat menimbulkan perasaan terancam pada anak-anak. Teori-teori ini pada 1950-1960 sempat membuat hubungan dokter dengan orangtua mengalami krisis dan menimbulkan perasaan bersalah serta bingung pada para orangtua yang telah cukup berat bebannya dengan mengasuh anak dengan autisme.
Teori Biologis
Teori ini menjadi berkembang karena beberapa fakta seperti berikut: adanya hubungan yang erat dengan retardasi mental (75—80%), perbandingan laki-laki : perempuan = 4 : 1, meningkatnya insidens gangguan kejang (25%), dan adanya beberapa kondisi medis serta genetik yang mempunyai hubungan dengan gangguan ini. Hingga sekarang ini diyakini bahwa gangguan autisme merupakan suatu sindrom perilaku yang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi yang mempengaruhi sistem saraf pusat. Namun demikian, sampai saat ini belum diketahui dengan pasti letak abnormalitasnya. Hal ini diduga karena adanya disfungsi dari batang otak dan mesolimbik. Namun, dari penelitian terakhir ditemukan kemungkinan adanya keterlibatan dari serebelum. Berbagai kondisi tersebut antara lain:
Faktor genetik
Hasil penelitian terhadap keluarga dan anak kembar menunjukkan adanya faktor genetik yang berperan dalam perkembangan autisme. Pada anak kembar satu telur ditemukan sekitar 36-89%, sedang pada anak kembar dua telur 0%. Pada penelitian terhadap keluarga ditemukan 2,5—3% autisme pada saudara kandung, yang berarti 50--100 kali lebih tinggi dibanding pada populasi normal. Penelitian terbaru menemukan adanya peningkatan gangguan psikiatrik pada anggota keluarga dari penyandang autisme berupa peningkatan insidens gangguan afektif dan ansietas, juga peningkatan gangguan dalam fungsi sosial.
Selain itu, juga telah ditemukan adanya hubungan antara autisme dengan sindrom fragile-X, yaitu suatu keadaan abnormal dari kromosom X. Pada sindrom ini ditemukan kumpulan berbagai gejala, seperti retardasi mental dari yang ringan sampai yang berat, kesulitan belajar pada yang ringan, daya ingat jangka pendek yang buruk, fisik yang abnormal pada 80% laki-laki dewasa, clumsiness, serangan kejang, dan hiperefleksi. Sering tampak pula gangguan perilaku seperti hiperaktif, gangguan pemusatan perhatian, impulsif, dan ansietas. Gambaran autisme seperti tidak mau bertukar pandang, stereotip, pengulangan kata-kata, dan perhatian/minat yang terpusat pada suatu benda/objek sering ditemukan. Diduga terdapat 0-20% sindrom fragile-X pada autisme. Walau demikian, hubungan kedua kondisi tersebut masih diperdebatkan.
Faktor perinatal
Komplikasi pranatal, perinatal, dan neonatal yang meningkat juga ditemukan pada anak dengan autisme. Komplikasi yang paling sering dilaporkan adalah adanya pendarahan setelah trimester pertama dan ada kotoran janin pada cairan amnion, yang merupakan tanda bahaya dari janin (fetal distress). Penggunaan obat-obatan tertentu pada ibu yang sedang mengandung diduga ada hubungannya dengan timbulnya autisme. Adanya komplikasi waktu bersalin seperti terlambat menangis, gangguan pernapasan, anemia pada janin, juga diduga ada hubungannya dengan autisme.
Model neuroanatomi
Berbagai kondisi neuropatologi diduga mendorong timbulnya gangguan perilaku pada autisme. Ada beberapa daerah di otak anak penyandang autisme yang diduga mengalami disfungsi. Adanya kesamaan perilaku autistik dan perilaku abnormal pada orang dewasa yang diketahui mempunyai lesi di otak, dijadikan dasar dari berbagai teori penyebab autisme.
Hipotesis neurokemistri
Sejak ditemukan adanya kenaikan kadar serotonin di dalam darah pada sepertiga anak autistik pada 1961, fungsi neurotransmitter pada autisme menjadi fokus perhatiaan banyak peneliti. Dengan anggapan bila fungsi neurokemistri yang ditemukan merupakan dasar dari perilaku dan kognitif yang abnormal, tentu dengan terapi obat diharapkan disfungsi sistem neurotransmitter ini akan dapat
dikoreksi. Beberapa jenis neurotransmitter yang diduga mempunyai hubungan dengan autisme antara lain serotonin, dopamin, dan opioid endogen.
Teori Imunologi
Ditemukannya penurunan respons dari sistem imun pada beberapa anak autistik meningkatkan kemungkinan adanya dasar imunologis pada beberapa kasus autisme. Ditemukannya antibodi beberapa ibu terhadap antigen lekosit anak mereka yang autisme, memperkuat dugaan ini, karena ternyata antigen lekosit juga ditemukan pada sel-sel otak. Dengan demikian, antibodi ibu dapat secara langsung merusak jaringan saraf otak janin yang menjadi penyebab timbulnya autisme.
Infeksi Virus
Peningkatan frekuensi yang tinggi dari gangguan autisme pada anak-anak dengan congenital rubella, herpes simplex encephalitis, dan cytomegalovirus infection, juga pada anak-anak yang lahir selama musim semi dengan kemungkinan ibu mereka menderita influensa musim dingin saat mereka ada di dalam rahim, telah membuat para peneliti menduga infeksi virus ini merupakan salah satu penyebab autisme.
Bagaimana gambaran klinis dan cara mendiagnosis anak dengan autisme?
Ada 3 kelompok gejala yang harus diperhatikan untuk dapat mendiagnosis autisme, yaitu dalam interaksi sosial, dalam komunikasi verbal dan nonverbal serta bermain, dan dalam berbagai aktivitas serta minat. Namun demikian, anak-anak dengan autisme kemungkinan sangat berbeda satu dengan yang lain, tergantung pada derajat kemampuan intelektual serta bahasanya. Baik anak yang mutisme (membisu) dan suka menyendiri maupun anak yang mampu bertanya dengan tatabahasa yang benar tapi tidak sesuai dengan situasi yang ada, keduanya mempunyai diagnosis yang sama, yaitu autisme. Dapat pula terjadi salah diagnosis pada keadaan fungsi intelektual yang ekstrem (sangat tinggi atau sangat rendah). Hilangnya tingkah laku yang khas autisme bersamaan dengan meningkatnya usia, membuat diagnosis autisme yang dibuat setelah masa kanak-kanak lewat, menjadi kurang dapat dipercaya.
Pemeriksaan medis apa saja yang dilakukan pada anak autisme?
Pemeriksaan medis yang dilakukan pada anak autisme adalah pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, tes neuropsikologis, tes pendengaran, tes ketajaman penglihatan, MRI (Magnetic Resonance Imaging), EEG (Electro Encephalogram), pemeriksaan sitogenetik untuk abnormalitas kromosom, pemeriksaan darah, dan pemeriksaan air seni.
Kapan autisme biasanya mulai muncul?
- Biasanya, gejala autisme mulai muncul sebelum usia 3 tahun dan ditandai kegagalan dalam perkembangan bahasa serta kegagalan dalam menjalin hubungan dengan orangtuanya. Ini merupakan alasan yang paling sering dari orangtua anak autisme untuk mengadakan kontak dengan tenaga medis.
- Beberapa orangtua takut anaknya tuli karena tidak ada reaksi dari anak bila dipanggil.
- Sangat jarang orangtua yang melaporkan anaknya mempunyai perkembangan sosial dan bahasa yang normal, tetapi yang sering justru kehilangan kemampuan berbahasa dan menarik diri dari interaksi sosial.
- Orangtua sering mengingat adanya suatu peristiwa besar sebelum terjadi perubahan perilaku ini, seperti kelahiran adik, kematian nenek/kakek, atau suatu penyakit fisik, namun tidak jelas apakah ada hubungan antara timbulnya gejala autisme dengan semua peristiwa tersebut.
- Sebagai bayi, anak autisme mungkin akan terbaring di boksnya atau asyik bermain sendiri selama berjam-jam tanpa menangis ataupun membutuhkan orangtuanya, sehingga pada awalnya orangtua mengira ia anak yang manis, yang mudah diatur, walau ada juga yang justru rewel dan sering menangis.
Hambatan kualitatif dalam interaksi sosial
Interaksi sosial pada anak autisme dibagi dalam 3 kelompok, yaitu:
- Menyendiri (aloof): banyak terlihat pada anak-anak yang menarik diri, acuh tak acuh, dan akan kesal bila diadakan pendekatan sosial serta menunjukkan perilaku serta perhatian yang terbatas (tidak hangat).
- Pasif: dapat menerima pendekatan sosial dan bermain dengan anak lain jika pola permainannya disesuaikan dengan dirinya.
- Aktif tapi aneh: secara spontan akan mendekati anak lain, namun interaksi ini sering kali tidak sesuai dan sering hanya sepihak.
Hambatan sosial pada anak autisme akan berubah sesuai dengan perkembangan usia. Biasanya, dengan bertambahnya usia maka hambatan tampak semakin berkurang.
- Sejak tahun pertama, anak autisme mungkin telah menunjukkan adanya gangguan pada interaksi sosial yang timbal balik, seperti menolak untuk disayang/dipeluk, tidak menyambut ajakan ketika akan diangkat dengan mengangkat kedua lengannya, kurang dapat meniru pembicaraan atau gerakan badan, gagal menunjukkan suatu objek kepada orang lain, serta adanya gerakan pandangan mata yang abnormal.
- Permainan yang bersifat timbal balik mungkin tidak akan terjadi.
- Sebagian anak autisme tampak acuh tak acuh atau tidak bereaksi terhadap pendekatan orangtuanya, sebagian lainnya malahan merasa cemas bila berpisah dan melekat pada orangtuanya.
- Anak autisme gagal dalam mengembangkan permainan bersama teman-temannya, mereka lebih suka bermain sendiri.
- Keinginan untuk menyendiri yang sering tampak pada masa kanak akan makin menghilang dengan bertambahnya usia.
- Walaupun mereka berminat untuk mengadakan hubungan dengan teman, sering kali terdapat hambatan karena ketidakmampuan mereka untuk memahami aturan-aturan yang berlaku dalam interaksi sosial. Kesadaran sosial yang kurang inilah yang mungkin menyebabkan mereka tidak mampu untuk memahami ekspresi wajah orang, ataupun untuk mengekspresikan perasaannya, baik dalam bentuk vokal maupun ekspresi wajah. Kondisi tersebut menyebabkan anak autisme tidak dapat berempati kepada orang lain yang merupakan suatu kebutuhan penting dalam interaksi sosial yang normal.
Hambatan kualitatif dalam komunikasi verbal/non-verbal dan dalam bermain
Keterlambatan dan abnormalitas dalam berbahasa serta berbicara merupakan keluhan yang sering diajukan para orangtua, sekitar 50% mengalami hal ini:
- Bergumam yang biasanya muncul sebelum dapat mengucapkan kata-kata, mungkin tidak tampak pada anak autisme.
- Sering mereka tidak memahami ucapan yang ditujukan pada mereka.
- Biasanya mereka tidak menunjukkan atau memakai gerakan tubuh untuk menyampaikan keinginannya, tetapi dengan mengambil tangan orangtuanya untuk mengambil objek yang dimaksud.
- Mereka mengalami kesukaran dalam memahami arti kata-kata serta kesukaran dalam menggunakan bahasa dalam konteks yang sesuai dan benar.
- Bahwa satu kata mempunyai banyak arti mungkin sulit untuk dapat dimengerti oleh mereka.
- Anak autisme sering mengulang kata-kata yang baru saja mereka dengar atau yang pernah mereka dengar sebelumnya tanpa maksud untuk berkomunikasi.
- Bila bertanya sering menggunakan kata ganti orang dengan terbalik, seperti "saya" menjadi "kamu" dan menyebut diri sendiri sebagai "kamu".
- Mereka sering berbicara pada diri sendiri dan mengulang potongan kata atau lagu dari iklan televisi dan mengucapkannya di muka orang lain dalam suasana yang tidak sesuai.
- Penggunaan kata-kata yang aneh atau dalam arti kiasan, seperti seorang anak berkata "sembilan" setiap kali ia melihat kereta api.
- Anak-anak ini juga mengalami kesukaran dalam berkomunikasi walaupun mereka dapat berbicara dengan baik, karena tidak tahu kapan giliran mereka berbicara, memilih topik pembicaraan, atau melihat kepada lawan bicaranya.
- Mereka akan terus mengulang-ulang pertanyaan biarpun mereka telah mengetahui jawabannya atau memperpanjang pembicaraan tentang topik yang mereka sukai tanpa mempedulikan lawan bicaranya.
- Bicaranya sering dikatakan monoton, kaku, dan menjemukan.
- Mereka juga sukar mengatur volume suaranya, tadak tahu kapan mesti merendahkan volume suaranya, misal di restoran atau sedang membicarakan hal-hal yang bersifat pribadi.
- Kesukaran dalam mengekspresikan perasaan atau emosinya melalui nada suara.
- Komunikasi non-verbal juga mengalami gangguan. Mereka sering tidak menggunakan gerakan tubuh dalam berkomunikasi untuk mengekspresikan perasaannya atau untuk merabarasakan perasaan orang lain, misalnya menggelengkan kepala, melambaikan tangan, mengangkat alis, dan lain sebagainya.
Aktivitas dan minat yang terbatas
- Abnormalitas dalam bermain terlihat pada anak autisme, seperti stereotip, diulang-ulang, dan tidak kreatif. Beberapa anak tidak menggunakan mainannya dengan sesuai, juga kemampuannya untuk menggantikan suatu benda dengan benda lain yang sejenis sering tidak sesuai.
- Anak autisme menolak adanya perubahan lingkungan dan rutinitas baru. Contohnya seorang anak autisme akan mengalami kesukaran bila jalan yang biasa ia tempuh ke sekolah diubah atau piring yang biasa ia pakai untuk makan diganti. Mainan baru mungkin akan ditolak berminggu-minggu sampai kemudian baru bisa ia terima. Mereka kadang juga memaksakan rutinitas pada orang lain, contohnya seorang anak laki-laki akan menangis bila waktu naik tangga sang ibu tidak menggunakan kaki kanannya terlebih dahulu.
- Mereka juga sering memaksa orangtua untuk mengulang suatu kata atau potongan kata.
- Dalam hal minat: terbatas, sering aneh, dan diulang-ulang. Misalnya, mereka sering membuang waktu berjam-jam hanya untuk memainkan saklar lampu, memutar-mutar botol, atau mengingat-ingat rute kereta api.
- Mereka mungkin sulit dipisahkan dari suatu benda yang tidak lazim dan menolak meninggalkan rumah tanpa benda tersebut. Misalnya, seorang anak laki-laki yang selalu membawa penghisap debu ke mana pun ia pergi.
- Stereotip tampak pada hampir semua anak autisme, termasuk melompat turun naik, memainkan jari-jari tangannya di depan mata, menggoyang-goyang tubuhnya, atau menyeringai.
- Mereka juga menyukai objek yang berputar, seperti mengamati putaran kipas angin atau mesin cuci.
Gangguan kognitif
Hampir 75-80% anak autisme mengalami retardasi mental dengan derajat rata-rata sedang. Menarik untuk diketahui bahwa beberapa anak autisme menunjukkan kemampuan memecahkan masalah yang luar biasa, seperti mempunyai daya ingat yang sangat baik dan kemampuan membaca yang di atas batas penampilan intelektualnya.
Sebanyak 50% dari idiot savants, yakni orang dengan retardasi mental yang menunjukkan kemampuan luar biasa, seperti menghitung kalender, memainkan satu lagu hanya dari sekali mendengar, mengingat nomor-nomor telepon yang ia baca dari buku telepon, adalah seorang penyandang autisme.
Gangguan perilaku motorik
Kebanyakan anak autisme menunjukkan adanya stereotip, seperti bertepuk-tepuk tangan dan menggoyang-goyangkan tubuh. Hiperaktif biasa terjadi terutama pada anak prasekolah. Namun, sebaliknya, dapat terjadi hipoaktif. Beberapa anak juga menunjukkan gangguan pemusatan perhatian dan impulsivitas. Juga didapatkan adanya koordinasi motorik yang terganggu, tiptoe walking, clumsiness, kesulitan belajar mengikat tali sepatu, menyikat gigi, memotong makanan, dan mengancingkan baju.
Respons abnormal terhadap perangsangan indera
Beberapa anak menunjukkan hipersensitivitas terhadap suara (hiperakusis) dan menutup telinganya bila mendengar suara yang keras seperti suara petasan, gonggongan anjing, atau sirine polisi. Anak yang lain mungkin justru lebih tertarik dengan suara jam tangan atau remasan kertas. Sinar yang terang, termasuk sinar lampu sorot di ruang praktik dokter gigi, mungkin membuatnya tegang walaupun pada beberapa anak malah menyukai sinar. Mereka mungkin sangat sensitif terhadap sentuhan, memakai baju yang terbuat dari serat yang kasar, seperti wol, atau baju dengan label yang masih menempel, atau berganti baju dari lengan pendek menjadi lengan panjang. Semua itu dapat membuat mereka tempertantrums.
Di lain pihak, ada juga anak yang tidak peka terhadap rasa sakit dan tidak menangis saat mengalami luka yang parah. Anak mungkin tertarik pada rangsangan indera tertentu seperti objek yang berputar.
Gangguan tidur dan makan
Gangguan tidur berupa terbaliknya pola tidur, terbangun tengah malam. Gangguan makan berupa keengganan terhadap makanan tertentu karena tidak menyukai tekstur atau baunya, menuntut hanya makan jenis makanan yang terbatas, menolak mencoba makanan baru, dapat sangat menyulitkan para orangtua.
Gangguan afek dan mood
Beberapa anak menunjukkan perubahan mood yang tiba-tiba, mungkin menangis atau tertawa tanpa alasan yang jelas. Sering tampak tertawa sendiri, dan beberapa anak tampaknya mudah menjadi emosional. Rasa takut yang sangat kadang-kadang muncul terhadap objek yang sebetulnya tidak menakutkan. Cemas perpisahan yang berat, juga depresi berat mungkin ditemukan pada anak autisme.
Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan agresivitas melawan orang lain
Ada kemungkinan mereka menggigit tangan atau jari sendiri sampai berdarah, membentur-benturkan kepala, mencubit, menarik rambut sendiri, atau memukul diri sendiri. Tempertantrums, ledakan agresivitas tanpa pemicu, dan kurang perasaan terhadap bahaya, dapat terjadi pada anak autisme.
Gangguan kejang
Terdapat kejang epilepsi pada sekitar 10--25% anak autisme. Ada korelasi yang tinggi antara serangan kejang dengan beratnya retardasi mental dan derajat disfungsi susunan syaraf pusat.
Kondisi fisik yang khas
Dilaporkan bahwa anak autisme usia 2-7 tahun, tubuhnya lebih dibanding anak seusianya dan saudaranya.
Diagnosis Banding
Gangguan autisme musti dibedakan dengan:
- Retardasi mental: ketrampilan sosial dan komunikasi verbal atau non-verbal pada anak retardasi mental sesuai dengan usia mental mereka. Tes inteligensi biasanya menunjukkan suatu penurunan yang menyeluruh dari berbagai tes. Berbeda dengan anak autisme yang hasil tesnya tidak menunjukkan hasil yang rata-rata sama. Kebanyakan anak dengan taraf retardasi yang berat dan usia mental yang sangat rendah menunjukkan tanda-tanda autisme yang khas, seperti gangguan dalam interaksi sosial, stereotip, dan buruknya kemampuan berkomunikasi.
- Skizofrenia: kebanyakan anak dengan skizofrenia secara umum tampak normal pada saat bayi sampai usia 2-3 tahun, dan baru kemudian muncul halusinasi, gejala yang tidak terdapat pada autisme. Biasanya anak dengan skizofrenia tidak retardasi mental, sedangkan pada autisme sekitar 75-80% adalah retardasi mental.
- Gangguan perkembangan berbahasa: kondisi ini menunjukkan adanya gangguan pemahaman dan dalam mengekspresikan pembicaraan, namun komunikasi non-verbalnya baik, dengan memakai gerakan tubuh dan ekspresi wajah. Juga tidak ditemukan adanya stereotip dan gangguan yang berat dalam interaksi sosial.
- Gangguan penglihatan dan pendengaran: mereka yang buta dan tuli tidak akan bereaksi terhadap rangsang lingkungan sampai gangguannya terdeteksi dan memakai alat bantu khusus untuk mengoreksi kelainannya.
- Gangguan kelekatan yang rekatif: suatu gangguan dalam hubungan sosial pada bayi dan anak kecil. Keadaan itu dikarenakan pengasuhan yang buruk sehingga dengan terapi dan pengasuhan yang baik serta sesuai, kondisi itu dapat kembali normal.
Bagaimana perjalanan penyakit dan prognosis autisme?
Walaupun kebanyakan anak autisme menunjukkan perbaikan dalam hubungan sosial dan kemampuan berbahasa seiring dengan meningkatnya usia, gangguan autisme tetap meninggalkan ketidakmampuan yang menetap. Mayoritas dari mereka tidak dapat hidup mandiri dan membutuhkan perawatan di institusi ataupun membutuhkan supervisi terus. Hasil penelitian menemukan bahwa:
- Dua per tiga dari anak autisme mempunyai prognosis yang buruk: tidak dapat mandiri.
- Seperempat dari anak autisme mempunyai prognosis yang sedang: terdapat kemajuan di bidang sosial dan pendidikan, walaupun ada problem perilaku.
- Sepersepuluh dari anak-anak autisme mempunyai prognosis yang baik: mempunyai kehidupan sosial yang normal atau hampir normal dan berfungsi dengan baik di sekolah ataupun di tempat kerja.
Walaupun demikian, sangatlah jarang penyandang autisme dapat berfungsi seperti orang dewasa, yakni mempunyai teman dan menikah. Beberapa peneliti mencatat adanya peningkatan masalah perilaku pada remaja, termasuk gangguang obsesive dan kumpulsive yang berat dan apatis. Juga dilaporkan munculnya gangguan depresi pada saat remaja. Gejala depresi muncul pada remaja ketika kesadaran yang menyakitkan muncul bahwa mereka tidak mampu membina hubungan dengan teman walaupun mereka menginginkannya.
Bagaimana penatalaksanaan gangguan ini?
Tujuan terapi pada gangguan autisme adalah untuk mengurangi masalah perilaku serta meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya, terutama dalam penggunaan bahasa. Tujuan ini dapat tercapai dengan baik melalui suatu program terapi yang menyeluruh dan bersifat individual, di mana pendidikan khusus dan terapi wicara merupakan komponen yang penting.
Suatu tim kerja terpadu yang terdiri dari tenaga pendidik, tenaga medis (psikiater, dokter anak), psikolog, ahli terapi wicara, pekerja sosial, dan perawat, sangat diperlukan agar dapat mendeteksi dini, serta memberi penanganan yang sesuai dan tepat waktu. Semakin dini terdeteksi dan mendapat penanganan yang tepat, akan dapat tercapai hasil yang optimal.
Pendekatan edukatif
Anak dengan autisme seharusnya mendapat pendidikan khusus. Rencana pendidikan sebaiknya dibuat secara individual sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak. Juga perlu diperhitungkan tidak hanya kelemahan anak ini, namun juga kekuatan yang mereka punyai, agar guru dapat mempertimbangkannya dalam memberikan keterampilan baru. Yang terbaik bagi mereka adalah suatu bentuk pelatihan yang sangat terstruktur, sehingga kecil kesempatan bagi anak untuk melepaskan diri dari teman-temannya, dan guru akan segera bertindak bila melihat anak melakukan aktivitas sendiri. Latihan yang terstruktur ini juga mempermudah anak untuk dapat memperkirakan kemungkinan apa yang akan terjadi di sekitarnya. Idealnya, anak ikut serta pelatihan ini, dengan harapan ia dapat memperoleh kemampuan untuk bekerja sendiri. Pendekatan ini tentunya membutuhkan suatu kelas yang perbandingan murid dan gurunya rendah.
Dalam pelajaran bahasa, anak lebih mudah mengembangkan kemampuannya dalam berkomunikasi bila fokus pembicaraan mengenai hal-hal yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Pada beberapa anak dapat dicoba dengan melatih bahasa isyarat. Demikian pula dalam melatih ketrampilan sosial, hendaknya juga mengenai hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Kekurangan dalam interaksi soaial, hubungan timbal-balik, memahami aturan-aturan sosial, memusatkan perhatian bila berada dalam suatu kelompok, dan kemampuan mengerjakan cara-cara yang diajarkan oleh pembimbingnya, merupakan masalah-masalah yang kemungkinan dapat berhasil dicapai dalam program untuk remaja dan dewasa muda.
Terapi perilaku
Dengan modifikasi perilaku yang spesifik diharapkan dapat membantu anak autisme dalam mempelajari perilaku yang diharapkan dan membuang perilaku yang bermasalah.
Dalam suatu penelitian dikatakan, dengan terapi yang intensif selama 1-2 tahun, anak yang masih muda ini dapat berhasil meningkatkan IQ dan fungsi adaptasinya lebih tinggi dibanding kelompok anak yang tidak memperoleh terapi yang intensif. Pada akhir dari terapi, sekitar 42% dapat masuk ke sekolah umum. Agresivitas yang cukup banyak ditemukan pada anak autisme, memerlukan penangan yang spesifik, yakni:
Anak:
- Ajari keterampilan berkomunikasi (non-verbal).
- Tingkatkan ketrampilan sosial (dengan peragaan).
Medis
- Konsultasi endokrinologi: untuk mengatasi agresivitas seksual.
- Konnsultasi neurologi: untuk menyingkirkan adanya kejang lobus temporalis dan sindrom hipotalamik.
Lingkungan
Lingkungan harus aman, teratur, dan responsif.
Sekolah:
- Periksa prestasi akademik yang diharapkan.
- Catat reaksi dari teman-teman.
- Coba kurangi tuntutan dan perubahan.
- Konsultasi dengan para ahli.
Rumah:
- Bagaimana penerimaan keluarga terhadap anak (orangtua dan saudara-saudaranya).
- Catat tuntutan-tuntutan terhadap anak dan coba kurangi setiap perubahan rutinitas.
- Pembatasan ruang adalah penting.
- Konsultasi dengan para ahli.
Bangkitkan rasa percaya diri pada anak:
- Bantu anak untuk melatih kontrol diri: stop-lihat-dengar
- Praktikkan latihan relaksasi: napas dalam atau musik.
- Ajari mendeteksi bahaya.
Kembangkan pelbagai keterampilan sebagai pengganti agresivitas, seperti keterampilan sosial, berkomunikasi, kerjasama, menggunakan waktu senggang, dan berekreasi.
Kurangi perubahan rutinitas yang mendadak. Hendaknya keluarga mempunyai rencana terhadap apa yang diharap dari anak di rumah:
- Rutinitas sehari-hari pada pagi hari, sepulang sekolah, dan sore hari.
- Gunakan gambar-gambar untuk anak non-verbal dan mempunyai fungsi yang lebih rendah.
Bagi anak dengan agresivitas yang berat:
- Pakai cara istirahat (time out) untuk meredakan dan dapat mengontrol diri lebih baik.
- Batasi reaksi emosional untuk menjadi agresif dengan berkata `tidak’ atau ‘stop’.
- Gunakan alat bantu fisik untuk mengontrol anak
- Koreksi terhadap akibat negatif yang dibuat anak
- Pengendalian fisik pada agresivitas yang berat dan hilangnya kontrol diri.
- Pastikan anak mempunyai rutinitas sehari-hari yang teratur.
- Semua teknik di atas harus digunakan dengan hati-hati dan di bawah supervisi profesional yang telah terlatih.
Teknik pencegahan timbulnya agresivitas:
- Bina hubungan yang kuat dengan anak
- Pastikan anak mempunyai rutinitas yang teratur, terutama di rumah
- Tinjau kembali bermacam tuntutan terhadap anak
- Bagaimana mengatur perubahan rutinitas (sebelum/sesudah hari libur)
- Jelaskan dan siapkan anak terhadap perubahan
- Kurangi suara dan keributan di sekitarnya
- Buat rencana untuk ‘hari-hari buruk’ dengan memilih suatu tempat yang tenang agar anak lebih tenang.
- Pergunakan relaksasi dan kontrol diri sebagai cara untuk memberi lebih banyak ketrampilan pada anak
- Pertemuan rutin dengan anggota tim agar mereka menyadari tanda-tanda agresivitas
- Supervisi dan ahli jiwa yang terlatih dalam terapi perilaku kognitif
Psikoterapi
Dengan adanya pengetahuan tentang faktor biologi pada autisme, psikodinamik psikoterapi yang dilakukan pada anak yang masih kecil, termasuk terapi bermain yang tidak terstruktur, adalah tidak sesuai lagi. Psikoterapi individual, baik dengan atau tanpa obat, mungkin lebih sesuai pada mereka yang telah mempunyai fungsi lebih baik, saat usia mereka meningkat, mungkin timbul perasaan cemas atau depresi ketika mereka menyadari kelainan dan kesukaran dalam membina hubungan dengan orang lain.
Terapi Obat
Pada sekelompok anak autisme dengan gejala-gejala seperti tempertrantums, agresivitas, melukai diri sendiri, hiperaktivitas, dan stereotip, pemberian obat-obatan yang sesuai dapat merupakan salah satu bagian dari program terapi komprehensif. Pemeriksaan yang lengkap dari kondisi fisik dan laboratorium harus dilakukan sebelum memulai pemberian obat-obatan. Periode istirahat dari obat, setiap enam bulan dianjurkan untuk menilai lagi apakah obat masih diperlukan dalam terapi.
Obat-obatan yang digunakan antara lain:
- Antipsikotik: untuk memblok reseptor dopamin
- Fenfluramine: untuk menurunkan serotonin
- Naltrexone: untuk antagonis opioida
- Simpatomimetik: untuk menurunkan hiperaktivitas
- Clomipramine: untuk anti depresan
- Clonidine: untuk menurunkan aktivitas noradrenergik
Sumber Tempo
FERIZAL MASRA
Mahasiswa Program Pasca Sarjana, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, FKMUI, Jakarta