Oleh Maria Gracia Manurung
Bagi mereka yang berkarir sebagai diplomat, tentara, misionaris, pegawai dari beberapa lembaga swasta maupun negeri, ada tugas-tugas yang menuntut mereka untuk berpindah-pindah tempat tinggal, baik itu pindah ke luar kota maupun ke luar dari negara asalnya. Mereka menetap di satu tempat untuk waktu tertentu sampai tugasnya selesai dan seringkali berpindah bersama suami atau istrinya dan anak-anaknya. Anak-anak dari mereka yang berprofesi sebagai diplomat, bisnis internasional, lembaga pemerintahan, lembaga internasional, misionaris, militer atau orang yang hidup secara internasional karena alasan profesinya, disebut sebagai Third Culture Kids (Schaetti & Ramsey, 1999).
Third Culture Kids atau TCK, adalah sebuah istilah yang sekarang digunakan untuk seseorang yang selama masa perkembangannya, yaitu dari lahir sampai dengan 18 tahun, tinggal di luar kebudayaan atau negara asal orang tuanya selama paling sedikit setahun (Pollock & Van Reken, 2001). Dengan kata lain, TCK adalah seseorang yang menghabiskan waktu yang signifikan selama masa perkembangannya di luar kebudayaan orang tuanya. Walaupun pernah berhadapan dengan budaya-budaya lain, namun seorang TCK akan menggabungkan budaya orang tuanya (budaya pertama) dan budaya-budaya tempat yang pernah ia tempati (budaya kedua) menjadi budaya bagi dirinya sendiri (budaya ketiga). Maka TCK tidak sepenuhnya menjadi bagian dari satu budaya tetapi memiliki hubungan dengan berbagai macam budaya yang terasimilasi ke dalam dirinya. Namun seberapa lama dan kapan seorang TCK berada di luar negeri selama masa perkembangannya itu mungkin akan memiliki dampak yang berbeda pada individu tersebut. Para TCK yang kemudian menjadi dewasa disebut dengan istilah adult third culture kids (ATCK).
Dengan berpindah-pindah tempat tinggal, para TCK memiliki gaya hidup yang berbeda dengan orang-orang lain pada umumnya. Bagi para TCK, mobilitas dan transisi telah menjadi bagian hidup mereka yang kemudian berpengaruh terhadap diri mereka. Hidup seorang TCK adalah suatu interaksi dari dua faktor yaitu hidup dalam dunia yang budayanya berubah-ubah dan mobilitas tinggi di masa yang penting yaitu masa pertumbuhan. Menurut McCaig (dalam Pollock dan Van Reken, 2001) ada enam karakteristik pribadi seorang TCK di mana masing-masing karakteristik tersebut merupakan suatu keuntungan sekaligus tantangan bagi seorang TCK. Keenam karakteristik ini adalah:
1. Cultural Chameleon atau Bunglon Budaya, yaitu berkembangnya suatu kemampuan beradaptasi dengan budaya setempat sebagai alat utama untuk bertahan (survive) ketika menghadapi perbedaan budaya yang sering terjadi.
2. Hidden Immigrants (Imigran Tersembunyi). TCK sudah jelas merupakan orang asing ketika berada di host country sehingga dimaklumi apabila perilakunya tidak sesuai dengan norma atau kebiasaan budaya setempat terutama bagi TCK yang secara fisik terlihat beda dengan penduduk setempat.
3. Prejudice (Prasangka), para TCK memiliki kesempatan untuk berteman dengan berbagai macam orang dari berbagai macam latar belakang dan tidak hanya sebagai kenalan.
4. Decisiveness (Kepastian), di mana keuntungan dari karakteristik ini adalah para TCK memiliki penghayatan akan kebutuhan untuk memusatkan kehidupannya pada masa kini.
5. Relation to Authority (Hubungan dengan Otoritas). Bagi beberapa TCK, menjalin hubungan dengan pihak yang lebih berotoritas menjadi suatu kelebihan apabila para TCK hidup dalam suatu komunitas ramah dan terbatas dalam sistem organisasi yang kuat.
6. Arrogance (Keangkuhan). Adanya gabungan dari keangkuhan yang nyatadan yang dipersepsikan sebagai keangkuhan karena kebiasaan dari TCK untuk membicarakan pengalaman mereka yang mungkin terkesan dogmatis.
Schaetti (dalam www.worldweave.com) mengungkapkan bahwa sehubungan dengan gaya hidup ini, ada beberapa masalah yang dihadapi para TCK yang mungkin dapat mengganggu beberapa individu, seperti perasaan marginal atau tidak sepenuhnya merasa bagian dari suatu kelompok, budaya, dan negara. Carlson (1997) berpendapat ada juga perasaan tidak berakar (rootlessness), tidak dapat menetap (restlessness), masalah dengan kedekatan (intimacy) dan kemampuan untuk menjaga jarak secara emosional dengan orang-orang lain dan perasaan sedih yang tidak tuntas (unresolved grief). Menurut Pollock & Van Reken (2001), masalah-masalah ini muncul bagi beberapa TCK karena gaya hidup berpindah dari satu negara ke negara lain terjadi sebelum selesainya salah satu tugas perkembangan yang penting yaitu pembentukan penghayatan identitas diri dan penghayatan identitas budayanya.
Santrock (2001) menjelaskan, berpindah (relocations) merupakan hal yang menimbulkan stress bagi anak-anak dan remaja karena mengganggu hubungan dan kegiatan pertemanan remaja yang merupakan hal penting pada masa remaja. Berpindah menimbulkan stress pada remaja karena sedang berkembangnya penghayatan identitas diri. Bagi keluarga yang baru saja pindah, sumber dukungan seperti teman-teman dan anggota keluarga besar yang dibutuhkan remaja maupun orang tuanya menjadi berkurang.
Dewasa ini, semakin banyaknya perusahaan atau instansi yang berkembang dan memiliki cabang di mancanegara. Semakin banyak pula pegawai perusahaan atau institusi tersebut yang harus berpindah tempat. Maka dari itu, jumlah para TCK semakin bertambah dan semakin terlihat eksistensinya (Pollock & Van Reken, 2001). Apabila masalah-masalah yang dihadapi para TCK, terutama yang berada pada masa remaja, tidak dapat diatasi oleh para TCK maka akan berpengaruh terhadap penyesuaian diri dan kelangsungan hidup mereka sehari-hari.
(Diambil dari: Manurung, M.G. (2006) Gambaran Identitas Diri Third Culture Kids: Studi
Eksploratif Pada Anak-anak Diplomat Indonesia, Depok: Fakultas Psikologi UI, Skripsi.)